Rabu, 13 Juli 2011

Mengenal Prinsip Akuntansi Syariah


Akuntansi dikenal sebagai sistem pembukuan “double entry”. Menurut sejarah yang diketahui awam dan terdapat dalam berbagai buku “Teori Akuntansi”, disebutkan muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli. Beliau menulis buku “Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita” dengan memuat satu bab mengenai “Double Entry Accounting System”. Dengan demikian mendengar kata ”Akuntansi Syariah” atau “Akuntansi Islam”, mungkin awam akan mengernyitkan dahi seraya berpikir bahwa hal itu sangat mengada-ada.

Namun apabila kita pelajari “Sejarah Islam” ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Sebagaimana pada awal ayat tersebut menyatakan “Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya………”

Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494.

Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi:”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”

Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing.

Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.

Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.

Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
  1. Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
  2. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
  3. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
  4. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
  5. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
  6. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
  7. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.

Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
  1. Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
  2. Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
  3. Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
  4. Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
  5. Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
  6. Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.

Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem Akuntansi Syariah Islam dengan Akuntansi Konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi persamaannya hanya bersifat aksiomatis.

Menurut, Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul “On Islamic Accounting”, Akuntansi Barat (Konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum kapital dengan berpedoman pada filsafat kapitalisme, sedangkan dalam Akuntansi Islam ada “meta rule” yang berasal diluar konsep akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia, dan Akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu “hanief” yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat, dimana setiap orang akan mempertanggungjawab kan tindakannya di hadapan Tuhan yang memiliki Akuntan sendiri (Rakib dan Atid) yang mencatat semua tindakan manusia bukan saja pada bidang ekonomi, tetapi juga masalah sosial dan pelaksanaan hukum Syariah lainnya.

Jadi, dapat kita simpulkan dari uraian di atas, bahwa konsep Akuntansi Islam jauh lebih dahulu dari konsep Akuntansi Konvensional, dan bahkan Islam telah membuat serangkaian kaidah yang belum terpikirkan oleh pakar-pakar Akuntansi Konvensional. Sebagaimana yang terjadi juga pada berbagai ilmu pengetahuan lainnya, yang ternyata sudah diindikasikan melalui wahyu Allah dalam Al Qur’an. “……… Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS.An-Nahl/ 16:89)

Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Minggu, 10 Juli 2011

Revitalisasi Pendidikan Moral

im
im
HARI-hari ini ruang publik kita dipenuhi berita dan informasi yang menyentakkan kembali kesadaran kita akan fondasi karakter dan moralitas kita sebagai bangsa.

Parade korupsi, malapraktik administrasi, pergaulan bebas, narkoba, dan yang paling santer adalah soal praktik pornografi di kalangan selebritis. Di antara praktik dekadensi tersebut menyembul harapan besar akan revitalisasi peran pendidikan sebagai pembentuk karakter dan moralitas bangsa.

Visi Pendidikan Kita
Tujuan utama pendidikan adalah menyemai karakter bangsa yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Dalam hal ini pendidikan dimaknai sebagai proses belajar dan adaptasi secara terus-menerus terhadap nilai-nilai budaya dan cita-cita luhur masyarakat dan diorientasikan untuk menghadapi tantangan eksternal.

Salah satu karakter budaya kuat bangsa Indonesia adalah pengamalan dan sikap berpegang teguh atas nilai-nilai religiusitas dan moral dalam dimensi kehidupan. Indonesia sejak zaman nenek moyang demikian menjunjung tinggi nilai moral, budaya, dan agama dan ini terjadi di hampir semua suku bangsa yang tercermin dalam adat istiadat yang mereka lakukan.

Cara pandang religius inilah yang menjadi modal dasar pembangunan termasuk dalam pengembangan pendidikan. Pembangunan manusia Indonesia melalui pendidikan dengan demikian berbeda dengan karakter pembangunan manusia Barat yang sekuler. Pembangunan sumber daya manusia (SDM) kita menekankan pentingnya moral (budi pekerti) di semua lini kehidupan baik privat maupun publik.

Hal ini sejalan dengan konsepsi dasar pendidikan yang diletakkan oleh Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intellect), dan jasmani anak-anak, selaras dengan alam dan masyarakatnya (Dewantara, 1967). Mohammad Natsir juga menegaskan makna pendidikan kita yang tidak sekuler dalam salah satu artikelnya di dalam buku Capita Selecta.

Natsir mengatakan, yang dinamakan pendidikan ialah satu pimpinan jasmani dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya (Natsir,1954). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945  (UUD 1945) mengamanatkan pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan ”Keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”.

UUD 1945 menginginkan karakter manusia Indonesia yang berakhlak mulia, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan cerdas dalam kehidupannya. Amanat UUD 1945 tersebut selanjutnya dijabarkan di dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 1 ayat (1) menjabarkan substansi pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Inilah makna pendidikan yang tidak sekularistik atau pendidikan yang membangun manusia Indonesia seutuhnya yaitu memiliki kekuatan moral, spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Revitalisasi Pendidikan Moral
Secara eksplisit desain pendidikan nasional menekankan pentingnya pendidikan karakter dan moral. Dalam kerangka ini, pendidikan harus menjadi sarana yang efektif dalam mentransformasi nilai-nilai moral-spiritual yang sangat berguna bagi pembentukan karakter peserta didik yang pada gilirannya diharapkan menjadi karakter budaya bangsa.

Pendidikan karakter dan moral pada dasarnya adalah “to guide the young towards voluntary personal commitment to values”, pekerjaan membimbing generasi muda untuk secara sukarela mengikatkan diri mereka kepada norma-norma atau nilai-nilai (Philip H Phenix, 1964). Yang penting di sini ialah bahwa “commitment to values” atau pengikatan diri kepada nilai-nilai harus terjadi secara sukarela, harus tumbuh dari dalam, dan bukan karena ancaman atau ketakutan kepada sesuatu di luar hati.

Dengan kerelaan tersebut, nilai-nilai moral diharapkan akan tercermin dalam akhlak kehidupan sehari-hari. Hal ini menuntut kreativitas dan pengayaan program pengajaran melalui berbagai kegiatan yang aplikatif dan tepat sasaran dalam menuntun akhlak sehari-hari peserta didik. Pengembangan “kantin kejujuran” di sejumlah sekolah misalnya merupakan bentuk terobosan kegiatan pendidikan moral.

Di sejumlah madrasah bahkan telah pula dikembangkan “kelas kejujuran” di mana siswa terbiasa mengerjakan soal-soal ujian tanpa pengawasan guru. Jika hal ini menjadi kesadaran kolektif, kita niscaya tidak akan mendengar lagi “perburuan bocoran kunci jawaban” di setiap ujian nasional (UN) dan dalam jangka panjang dapat membangun karakter moral yang kuat.

Pelajaran agama yang menjadi pijakan utama pendidikan moral misalnya tidak boleh dikesankan sebatas penyampaian doktrin-doktrin agama, tentang halal-haram, tata cara ibadah berikut pahala-surga dan ancaman dosa-neraka, tetapi harus banyak berbicara dimensi pemaknaan yang mengajak peserta didik meraih kesadaran (conscience) terhadap nilai. Unsur-unsur ajaran agama menyangkut ibadah dan hukum-hukum agama tentu saja harus disampaikan, tapi tidak boleh dilupakan bahwa tujuan utama pendidikan agama adalah internalisasi nilai sehingga menjadi karakter.

Pengajaran moral melalui pembahasaan yang divergen atas nilai-nilai yang terkandung dalam materi ajar melalui kegiatan-kegiatan sederhana, tapi mengena akan mengefektifkan pembentukan karakter moral para peserta didik. Pada gilirannya akan membentengi akhlak peserta didik dari perbuatan yang dilarang (amoral).

Hal ini tentu saja sangat penting bagi fondasi pembangunan bangsa di masa depan. Ketika karakter moral telah membudaya, ia akan menjadi etos kerja bangsa sehingga proses-proses politik, perumusan kebijakan, dan praktik pemerintahan dan pembangunan akan dilandasi moralitas yang kuat, terhindar dari berbagai penyimpangan. Wallahua’lam.(*)

Jazuli Juwaini, MAAnggota Komisi VIII
DPR RI Fraksi PKS(//rhs)

Mulai Belajar

Alhamdulillah, mulai belajar dalam hal ngeblog jadi sekarang punya blog. Yang mungkin awalnya kalau ga ada tugas buat blog mungkin ga kepikiran buat blog, berutung dapet mata kuliah SIM...